SAMPAIKAN, AKTIF DAN SELARAS: TIGA LANGKAH MENUJU BUDAYA DIGITAL.
Bagaimana perusahaan beralih ke digital culture yang mereka inginkan? Bagaimana kita bisa menghindari salah langkah yang telah membuat banyak perusahaan tersandung sejauh ini? Terdapat tiga tindakan penting dalam digital culture (Gambar 2.)
Sampaikan perubahan yang diperlukan. Ketika perusahaan dengan jelas mendefinisikan perilaku yang penting dan karyawan mematuhinya, organisasi dapat mewujudkan budaya yang kuat dan lebih besar kemungkinannya untuk menuai hasil. Namun, para pemimpin sering kali tersandung dalam upaya ini.
Pertama-tama, para pemimpin harus mengidentifikasi karakteristik target digital culture mereka berdasarkan strategi, gol, dan tujuan perusahaan. Bahasa yang digunakan tidaklah ambigu, dikarenakan semakin tingginya interaksi karyawan dengan pelanggan dan rekan kerja tidak lagi membutuhkan tatap muka. Para pemimpin perlu menerjemahkan setiap karakteristik budaya ke dalam contoh perilaku secara spesifik. Langkah ini harus diikuti oleh culture assessment terkini, baik itu dengan survei, wawancara, focus group, atau kombinasi dari ketiganya. Para pemimpin harus mengidentifikasi kesenjangan antara perliaku saat ini dan perilaku target, serta mengintegrasikan perubahan yang diperlukan dengan komunikasi terkait perubahan budaya.
Untuk memperjelas karakteristik digital culture, para pemimpin harus melihat/terjun langsung ke industri teknologi, perusahaan juga dapat berkonsultasi dengan konsultan digital. Sebagai contoh, eksekutif di lembaga keuangan Eropa melakukan kunjungan lapangan ke perusahaan teknologi terkemuka. Mereka terinspirasi oleh praktik yang mereka saksikan, para eksekutif lebih mampu untuk mengidentifikasi perilaku yang mereka butuhkan di perusahaan mereka dengan mencontoh apa yang mereka dapatkan selama kunjungan lapangan kerja tersebut. Tugas-tugas yang akan dijalankan (termasuk apa yang diperlukan dan tidak), sekaligus dengan penilaian perilaku saat ini dan target ke depannya, membantu mereka menciptakan “culture code” baru. Workshop dan action plan juga membantu menanamkan perilaku baru pada karyawan.
Gencarkan karakteristik kepemimpinan dan libatkan karyawan. Seluruh budaya berkinerja tinggi, terutama digital culture membutuhkan kepemimpinan yang kuat dan keterlibatan karyawan. Dalam digital culture, tim perlu bertindak secara mandiri, serta orang-orang harus melakukan penilaian. Namun barisan kata saja tidak cukup untuk mengacu pada perilaku seperti yang diharapkan. Pemimpin, baik mereka yang berada di tingkat atas atau di garis depan harus merangkul dan memanifestasikan perilaku ini.
Perusahaan dapat menggencarkan karakteristik kepemimpinan dengan menciptakan peluang sehari-hari bagi para pemimpin untuk berperan sebagai role model perilaku baru tersebut. Misalnya, mereka dapat mengenalkan rutinitas dan ritme baru pada pekerjaan sehari-hari untuk mencerminkan perilaku yang diinginkan. Sebuah lembaga keuangan Amerika Utara yang sedang melakukan transformasi digital menjadikannya sebuah praktik untuk merotasi pimpinan rapat, dengan memberikan giliran kepada beragam pegawai yang ikut rapat untuk memimpin jalannya rapat tersebut. Perusahaan harus mendorong para pemimpin untuk melatih anggota tim mereka setiap hari untuk mempraktikan perilaku baru secara langsung.
Menandakan perubahan dengan tindakan simbolis yang mewujudkan budaya baru adalah cara yang baik untuk menggencarkan karakteristik kepemimpinan dengan cepat. Contoh, perusahaan dapat menetapkan hari bebas rapat untuk menekankan fokus yang lebih besar pada tindakan atas perencanaan, atau mereka dapat memberikan karyawan cash advance untuk membeli peralatan desktop mereka untuk menunjukan rasa percaya. Terkadang langkah berani seperti memutus kerja orang yang perilakunya bertentangan dengan budaya baru, adalah dibenarkan. Untuk memberi sinyal perubahan di Cisco, eksekutif di divisi tertentu menyerahkan kantor mereka sehingga perusahaan dapat membuat ruang tim, perusahaan juga mulai mengizinkan karyawan untuk memilih ruang kerja dan alat teknologi yang paling sesuai dengan peran masing-masing. CEO dari Cisco mulai mengirimkan ucapan kepada karyawan yang dipuji namanya pada customer review. Pengakuan seperti itu berfungsi sebagai contoh bagaimana para pemimpin perusahaan dapat menguatkan pola pikir utama dari pelanggan yang merupakan inti dari corporate culture.
Menggencarkan karakteristik kepemimpinan sangat penting untuk mendorong keterlibatan karyawan, khususnya digital culture, mengingat penekanannya terhadap otonomi, customer focus, dan pola pikir seorang wirausaha. Pemimpin harus melibatkan karyawan melalui cara non-tradisional. Novartis misalnya, menggunakan gamification untuk mengajarkan karyawan tentang produk serta untuk menekankan corporate values.
Mensejajarkan konteks organisasi untuk menanamkan budaya baru. Karena transformasi digital merupakan penyimpangan dari cara bisnis tradisional berjalan, perusahaan biasanya mengujinya menggunakan program percontohan yang dijalankan oleh para pemimpin terbaik. Untuk memperoleh perilaku baru dari para eksekutif, perusahaan memodifikasi kriteria Executive Performance Review serta bidang pertanggungjawaban mereka. Perusahaan juga mengubah hak keputusan eksekutif ini untuk mempercepat pengambilan keputusan. Ketika pelopor berhasil, maka jajaran pemimpin puncak siap untuk melakukan transformasi.
Yang menjadi masalah adalah perubahan yang membantu dan memberi insentif kepada eksekutif untuk mensukseskan percontohan tidak ada dalam organisasi yang besar; baik manajer maupun karyawan tidak siap atau termotivasi untuk mengadopsi cara baru.
Mengukur digital culture adalah sebuah tantangan. Budaya tradisional, berdasarkan pada kekuatan hierarkis dan tim atau unit yang bersaing untuk sumber daya, dalam banyak hal bertentangan dengan digital culture, dengan penekanannya pada pendelegasian, kolaborasi dan kecepatan. Namun, jika perusahaan mengubah konteks organisasi seperti sistem, proses, dan praktik yang mendasarinya bukan hal mustahil untuk meluaskan dan menanamkan perilaku baru di seluruh organisasi. Penanaman tidak hanya menjadi bagian yang paling menantang tetapi juga yang paling memakan waktu. Tidak mengherankan jika banyak transformasi berhenti lebih awal dan akhirnya gagal.
Agar berhasil menanamkan budaya baru, perusahaan perlu mengantisipasi apa yang harus mereka lakukan di luar menjalankan pilot project. Mereka perlu meninjau ulang model operasi mereka. Perusahaan juga perlu menstimulasi praktik-praktik baru dengan meninjau masing-masing bidang organisasi seperti kepemimpinan, desain organisasi, manajemen kinerja, praktik pengembangan sumberdaya manusia, sumber daya dan alat, visi dan corporate values, interaksi informal dan membuat perubahan spesifik yang memberikan insentif kepada perilaku yang diharapkan dan mencegah yang tidak seharusnya. Perubahan juga harus dilakukan pada penyaringan dan kebijakan perekrutan untuk mencari prospek-prospek yang menunjukan perilaku baru.
Perusahaan dapat menanamkan budaya baru dalam sejumlah cara. Misalnya, L’Oréal merekrut seorang chief digital officer untuk memimpin tim yang menyebarkan keahlian digital kepada unit-unit bisnis perusahaan, secara bersamaan memajukan prioritas digital di seluruh perusahaan. Adobe Systems menghapus annual performance management review mereka, menggantikannya dengan sesi “feed forward” secara langsung yang berfokus pada tujuan yang akan datang. Dan British Gas mengadopsi program Yammer sebagai platform kolaborasi sosial perusahaan; hal ini memungkinkan para pegawai untuk berbagi dukungan dan praktik terbaik serta bekerja sama lintas fungsi.
Pemimpin di sebuah perusahaan life science meninjau “DNA statement” perusahaan mereka, sebuah komitmen terhadap hasrat, kualitas, integritas, ketertiban dan inovasi untuk memastikan bahwa prinsip-prinsip dan sistem perusahaan mendukung budaya digital baru. Untuk menguatkan semangat, para pemimpin menciptakan program rotasi pekerjaan dan memungkinkan karyawan untuk mengerjakan proyek digital yang mereka pilih. Pemimpin mempromosikan kualitas dan integritas melalui digital expert network dan modul digital dalam program orientasi dan pelatihan di perusahaan. Untuk meningkatkan keterlibatan karyawan, para pemimpin mengadakan konferensi digital secara tahunan dan mengenalkan collaboration award untuk tim yang merancang ide-ide baru yang menggebrak. Mereka juga mengedepankan inovasi dengan meningkatkan peralatan dan menata ulang lingkungan kerja agar lebih futuristik dan menginspirasi.
Seperti halnya transformasi apapun, para pemimpin yang memandu transformasi digital sering disibukan dengan perubahan struktural dan proses dan mengabaikan sisi people – hanya berpikir kenapa usaha yang dilakukan gagal. Tidak bisa dipungkiri bahwa perubahan budaya adalah penentu utama dari transformasi yang sukses. Untuk transformasi digital, fakta tersebut berlaku di setiap tingkatan. Perilaku yang mewujudkan digital culture mewakili perubahan besar dari norma yang sudah ada sejak lama dan secara spesifik menantang stuktur kekuasaan tradisional, otoritas pengambilan keputusan, dan pandangan mendasar tentang persaingan dan kerja sama di antara karyawan. Peluang yang terbuka semakin sempit. Tidak akan lama hingga organisasi digital menjadi sebuah keharusan. Dengan membentuk dan menanamkan digital culture dari sekarang, perusahaan Anda dapat mengamankan posisi keunggulan kompetitif sembari berinvestasi dalam kinerja jangka panjang dan berkelanjutan.
Baca juga:
Transformasi Digital Hanya Setengah Hati, Jika Tanpa Digital Culture (Bag. 1)
You must be logged in to post a comment.