Digital Culture menjadi buah bibir belakangan ini. Perusahaan BUMN, perusahaan skala nasional, bahkan hampir seluruh perusahaan berlomba-lomba mempredikatkan diri bertransformasi digital. Apa sebenarnya Transformasi Digital dan Digital Culture?

Digital Culture mengacu pada budaya yang dibentuk oleh kemunculan dan penggunaan teknologi digital yang masif. Digitalisasi telah menjadi pengaruh besar di era ini, karena kehadiran dan pertumbuhan internet sebagai bentuk komunikasi massa, serta meluasnya penggunaan komputer personal dan perangkat lainnya seperti ponsel pintar. Transformasi digital menggebrak dunia bisnis. Para pemimpin menerimanya sepenuh hati, karena mereka menyadari kekuatannya. Namun ketika perusahaan mengembangkan pilot project dan diadopsi ke skala yang lebih besar, mereka sering mengalami hambatan yang tak terduga yang sering kita sebut culture clash.

Menjadi organisasi digital tidak semata hanya memiliki produk digital, layanan dan interaksi pelanggan, namun juga menguatkan operasi inti dengan teknologi. Untuk mengarah kesana, dibutuhkan perubahan yang masif dalam kegiatan yang dilakukan karyawan. Serta perilaku individu mereka dan cara berinteraksi dengan orang lain, baik di dalam maupun di luar organisasi. Sudah tidak mengejutkan, cara-cara lama dalam bekerja tidak sesuai dengan kondisi saat ini.

Para pemimpin perlu mengakui transformasi digital sebagai perubahan paradigma yang fundamental dan strategis. Seperti halnya transformasi besar lainnya, transformasi digital membutuhkan penanaman budaya yang mendukung perubahan sembari memungkinkan strategi secara menyeluruh di perusahaan.

Menanamkan digital culture dalam suatu organisasi sangat mungkin dilakukan, tetapi dibutuhkan metodologi yang jelas dan upaya yang disiplin. Sebelum dijelaskan langkah-langkah penting yang harus dilakukan perusahaan untuk membangun digital culture yang bertahan lama, mari kita telaah alasan mengapa digital culture itu penting.

MENGAPA MENANAMKAN DIGITAL CULTURE ITU PENTING.

Budaya sendiri terdiri dari nilai-nilai dan seperangkat karakteristik perilaku yang menentukan bagaimana hal-hal dilakukan dalam suatu organisasi. Budaya yang sehat memberikan pedoman/kode perilaku tidak tertulis yang mengarahkan individu untuk bertindak secara tepat dan membuat pilihan yang memajukan tujuan dan strategi organisasi. Terdapat tiga alasan penting untuk menanamkan digital culture selama transformasi digital.

Mengabaikan budaya, organisasi berisiko mengalami kegagalan transformasi. Terdapat sekitar 40 transformasi digital dan menemukan bahwa proporsi perusahaan yang melaporkan terobosan atau kinerja keuangan terdapat 83% atau lima kali lipat yang berfokus pada budaya perusahaan dibandingkan yang mengabaikan budaya perusahaan hanya sekitar 17% dengan hasil kinerja yang biasa saja.

Keadaan untuk menumbuhkan digital culture bahkan lebih kuat jika melihat kinerja yang berkelanjutan: hampir 80% dari perusahaan yang berfokus pada budaya mempertahankan kinerja yang kuat atau memberikan terobosan. Tidak satupun perusahaan yang mengabaikan fokus pada budaya mencapai kinerja tersebut. (Gambar 1.)

Gambar 1. Capaian hasil perusahaan yang fokus dengan budaya saat transformasi digital

Budaya digital memberdayakan pegawai untuk memberikan hasil lebih cepat. Organisasi digital bergerak lebih cepat daripada organisasi tradisional dan hierarki yang lebih datar membantu pengambilan keputusan yang lebih cepat. Budaya digital berfungsi sebagai kode perilaku yang memberikan karyawan kebebasan untuk melakukan penilaian dan keputusan di tempat.

Bagi banyak organisasi digital, kode etik ini sama dengan fokus tunggal pada pelanggan. Kita ambil contoh penyedia perangkat lunak di Amerika Utara. Sadar bahwa perangkat lunak baru sebagai produk layanan yang membutuhkan respon yang jauh lebih cepat terhadap kebutuhan pelanggan daripada produk yang sudah ada. Para pemimpin mengkomunikasikan lima perilaku penting baru yang mereka harapkan dari karyawan. Di antara perilaku tersebut ialah membuat keputusan sendiri dan menantang status quo untuk membuat keputusan yang menguntungkan bagi pelanggan.

Budaya digital menarik bakat baru. Memiliki reputasi sebagai pemimpin digital adalah magnet bagi bakat milenial. Generasi milenial umumnya tertarik pada perusahaan digital, dengan culture promise mereka akan lingkungan kerja sama yang kreatif dan otonomi yang lebih besar. Tidak mengherankan jika situs web seperti linkedin.com dan glassdoor.com semakin sering digunakan oleh para pencari kerja untuk mendapatkan perspektif orang dalam tentang budaya perusahaan yang mereka tuju nantinya.

Memiliki budaya digital sangat penting dalam menarik bakat digital, permintaan yang cepat melampaui pasokan. Perusahaan besar dan mapan harus sering menggunakan metode baru untuk menarik, mengembangkan, dan mempertahankan bakat yang diperlukan untuk mendukung transformasi digital mereka.

LIMA UNSUR UTAMA BUDAYA DIGITAL

Budaya digital yang sehat adalah jenis budaya berkinerja tinggi. Untuk memahami elemen-elemen penting dari budaya digital, ada baiknya menyadari terdapat tiga atribut penting dalam budaya kinerja tinggi.

Pertama, karyawan dan tim dilibatkan untuk mencapai hasil; mereka berkomitmen untuk pekerjaan mereka, tujuan dan sasaran organisasi, dan mereka bersedia bekerja lebih keras. Kedua, individu dan tim bekerja dengan cara yang akan memajukan strategi organisasi. Ketiga, lingkungan organisasi atau “konteks” – termasuk kepemimpinan, desain organisasi, manajemen kinerja, praktik pengembangan sumber daya manusia, sumber daya dan alat, visi dan nilai-nilai perusahaan, serta interaksi informal – dibentuk untuk mendorong keterlibatan dan mendorong perilaku yang akan memajukan strategi organisasi.

Seperti halnya tidak ada strategi yang universal, begitu juga standar digital culture. Namun, digital culture biasanya memiliki lima elemen penentu:

Ekternal daripada Internal
  • Digital Culture mempromosikan orientasi eksternal, bukan internal. Budaya digital mendorong karyawan untuk melihat keluar dan terlibat dengan pelanggan serta mitra untuk menciptakan solusi baru. Contoh utama adalah fokus pada proses customer journey; karyawan membentuk pengembangan produk dan meningkatkan pengalaman pelanggan dengan menempatkan diri mereka pada posisi pelanggan.
Delegasi daripada Kontrol
  • Menghargai delegasi daripada kontrol. Digital culture mengutamakan pengambilan keputusan jauh ke dalam organisasi. Alih-alih menerima instruksi tentang cara melakukan pekerjaan mereka, karyawan harus bisa mengambil keputusan secara bersamaan mengikuti prinsip panduan sehingga penilaian mereka dapat dipercaya.
Keberanian daripada Kehati-hatian
  • Mendorong keberanian daripada kehati-hatian. Dalam digital culture, karyawan didorong untuk mengambil risiko, gagal cepat dan cepat belajar, serta mereka tidak disarankan mempertahankan status quo karena kebiasaan atau kehati-hatian.
Tindakan daripada Perencanaan
  • Menekankan lebih banyak tindakan daripada perencanaan. Digital culture yang berubah dengan cepat, perencanaan dan pengambilan keputusan harus bergeser dari memiliki fokus jangka panjang ke jangka pendek. Digital culture mendukung kebutuhan akan kecepatan dan mengedepankan pengulangan yang berkelanjutan daripada produk/ide yang sempurna baru dilempar ke pasar. Revisi merupakan hal lumrah dalam digital culture.
Kolaborasi daripada Individu
  • Menghargai kolaborasi daripada usaha individu. Keberhasilan dalam digital culture datang melalui kerja kolektif dan berbagi informasi lintas divisi, unit, dan fungsi. Kecepatan kerja digital yang berulang dan singkat membutuhkan tingkat transparansi dan interaksi yang jauh lebih besar daripada yang ditemukan dalam organisasi tradisional.

Elemen-elemen penentu ini bervariasi di setiap tingkat industri dan perusahaan. Tingkat pengambilan risiko yang sesuai di perusahaan teknologi tidak akan sama dengan perusahaan perbankan, misalnya. Dan bahkan dalam satu organisasi, tingkat pengambilan risiko yang diinginkan akan bervariasi; tim strategi contohnya, harus menghadapi risiko di tingkat yang jauh lebih besar daripada tim keuangan. Mendorong pengambilan risiko dimaksudkan untuk mendorong pemikiran ‘out of the box’ tanpa kecerobohan atau melanggar peraturan atau kebijakan perusahaan.

Baca juga:
Transformasi Digital Hanya Setengah Hati, Jika Tanpa Digital Culture (Bag. 2)

Pin It on Pinterest

Share This